Rabu, 10 November 2010

Sajak Rindu



Hujan turun dari atap-atap hunian. Aku masih terduduk disini menanti malam untuk datang menghampiri. Kesunyian adalah kebekuan yang terbiasakan. Terlupakan dan tak terjamah oleh derita. Begitu pula senja ini, terbumbui oleh harumnya sunyi. Aku berharap melihat matamu diantara semak. Namun aku hanya melihat hujan yang berderap-derap bagaikan langkah kaki melintasi senja. Aku mengalihkan pikiranku, memandang ke langit lalu ke bumi. Tapi tetap saja tak ku temukan manis senyummu disana. Ingin kulipat langit dan bumi, lalu menggelarnya lagi menjadi dunia baru yang kuimpi. Bersamamu, bersama hujan di senja ini. Namun tanganku beku oleh kerinduan akan namamu. Tiba-tiba telingaku menangkap suaramu. Menangkap gelak tawamu, menangkap deru nafasmu. Aku meridukanmu, merindukan saat-saat ketika hujan turun membasahi rambutku dan rambutmu. Aku merindukan lembut bibirmu, yang selalu menyisipkan kata cinta ke telingaku. Aku merindukanmu, merindukan hangat pelukanmu yang membawaku melupakan duniaku. Hujan masih turun dari atap-atap hunian. Dan aku masih terduduk disini, bersama malam yang mulai menghampiri. Yang kutunggu adalah waktu yang terus berlalu. Yang aku tak pernah tahu dimana ujung penantianku. Aku terisak dalam malam, dibawah hujan yang semakin temaram. Membahana ditelinga kelelawar malam yang berteduh dibawah randu. Aku haus akan nafasmu, aku haus akan detak jantungmu. Aku berteriak pada malam, agar mau memanggilkanmu. Sosokmu kosong, sosokmu tak hadir dalam kebekuanku. Aku membutuhkan nyala cintamu. Sosokmu hilang, sosokmu tak muncul dalam benakku. Jangkrik tertawa dibawah kamboja. Menertawakanku yang merindukanmu dibawah hujan. Merindukan lembut belaianmu, merindukan bisikmu, merindukan setiap jengkal tubuhmu. Hujan turun dari atap-atap hunian. Aku tergeletak tanpa cinta di jalanan. Tak lagi duduk menunggu malam. Tak lagu duduk menunggu dirimu datang. Aku tergeletak di bawah hujan. Bersama rinduku yang terkubur dalam kebekuan malam.

2 komentar: